Ketika sang surya tak nampak sepenuhnya, seorang gadis duduk terdiam meratapi nasibnya. Muka memerah, kepolosan tak berdosa. Aku ini Fajar tak bersinar. Selimut duka selalu datang menimpa. Dua tahun sudah kuhilang netra. Hitam...kelam tak ada secerca cahaya. Bunyi, raba, hanya itu yang dapat kuandalkan. Tak ada lagi mimik wajah yang bisa kulukiskan. Hitam,,,semua hanya hitam.
"Tuhan,,,apakah yang Kau harapkan dariku ini? Apa yang Kau isyaratkan atas yang kutimpa ini? Dua tahun tak dapat kumiliki. Tak ada lagi hijaunya rerumputan. Tak ada lagi jingganya langit kala senja. Tak ada lagi senyum ceria dan air mata ayah bunda. Yang dapat kulihat hanya hitam pekat bagai malam gelap gulita. Yang kurasakan sekarang hanya insting untuk berjalan langkah demi langkah. Yang kudengar sekarang hanya lirih tangis yang tak bisa kupastikan."
"sreekk...sreekk (suara dedaunan kering yang terinjak)"
"siapa disitu?"
"Ayo,nak. Kita pulang. Udara semakin dingin. (sambil mengalungkan slayer)"
"Baik,Bun. Apa Bunda tidak apa-apa?"
"Iya, Bunda baik-baik saja"
"Bun, apakah aku akan selamanya begini? Jika itu benar, aku akan rela asalkan tak akan lagi kudengar suara isak tangis bunda, tak akan lagi kumerasakan air mata saat kupegang pipi bunda. Sungguh aku sangat ikhlas jika semua itu dapat terwujud."
"Bagaimana bunda bisa berhenti menangis bila melihat kau seperti ini? Bagaimana bunda bisa melihat kau dengan kepolosanmu bertanya apakah bunda baik-baik saja? Bunda tidak bisa baik-baik saja jika setiap kali bunda berpaling muka kau, kau selalu meneteskan air mata meratapi apa yang kau alami. Jika bisa, lebih baik Bunda yang menanggung semua ini."
"Bunda, apakah bunda tidak malu memiliki aku?"
Yang terdengar hanya isak tangis.
"Bunda...Tak masalah jika tak dapat lagi kulihat dunia. Tak masalah jika yang kulihat hanya hitam. Asalkan suara merdumu masih dapat kudengar. Asalkan Lembut tanganmu masih dapat kurasakan. Tak apa,,,semua akan jadi baik-baik saja."